3 Jurus AWAL Sukses Belajar Terjemah Kitab Ta'lim Muta'allim di kitabkuning.tokobagus.com
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Segala puji hanyalah milik Alloh, yang telah memuliakan anak cucu Adam/manusia dengan ilmu dan amal atas seluruh alam. Sholawat senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad, saw, pemimpin bangsa arab dan ajam, juga kepada keluarganya, sahabatnya, yang menjadi sumber ilmu dan hikmah.
Waba’du. Setelah semuanya, ketika aku menyaksikan para penuntut ilmu di zamanku ini begitu giat dan bersemangat di dalam menuntut ilmu. Namun amat disayangkan mereka tidak berhasil memperoleh manfaat dan buah ilmu, yaitu mengamalkan dan menyebarkannya. Hal ini disebabkan mereka terhalang sesuatu yang menyebabkan mereka salah jalan di dalam menuntut ilmu dan meninggalkan syarat-syaratnya. Siapa saja yang salah jalan pasti tersesat, dan tidak akan berhasil menggapai maksud yang diinginkan, baik sedikit atau banyak.
Oleh karena itu aku berkeinginan dan begitu antusias untuk menjelaskan kepada para penuntut ilmu “Jalan Sukses Menuntut Ilmu” sebagaimana yang telah aku pelajarari dari beberapa kitab, juga dari pelajaran yang aku dengar dari para guruku yang memiliki keluasan ilmu dan hikmah. Aku mengharapkan doa dari para pencinta ilmu yang ikhlas, semoga usaha ini berhasil dan mendapatkan keselamatan di hari kiamat.
Setelah beristikharah kepada Alloh di dalam menyusun kitab ini, aku namakan kitab ini: “Ta’lim Al-Muta’allim, Thariiq At-Ta’allum (Pelajaran Bagi Penuntut Ilmu, Jalan Menuntut Ilmu). Dalam menjelaskannya aku bagi menjadi 13 topik.
Tiada pertolongan kecuali pertolongan Alloh, dan hanya kepada-Nya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku kembali.
JURUS PERTAMA
HAKEKAT KEUTAMAAN ILMU DAN FIKIH
Rasululloh, saw bersabda:
“Menuntut ilmu itu kewajiban bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan.”
Ketahuilah, sesungguhnya tidak diwajibkan bagi setiap laki-laki dan perempuan bersusah payah menuntut setiap ilmu, namun yang diwajibkan adalah menuntut ilmu yang berhubungan dengan amal atau perbuatan yang hendak dikerjakan. Ini bersesuaian denga perkataan para alim:
“Seutama-utamanya ilmu adalah ilmu yang berhubungan dengan perbuatan yang akan dikerjakan, dan seutama-utamanya perbuatan adalah menjaga dan memelihara tingkah laku.”
Diwajibkan bagi setiap muslim menuntut ilmu setiap perbuatan yang sedang atau akan dikerjakan. Untuk itu wajib bagi setiap muslim mengetahui ilmu tentang sholat, minimal mengetahui yang fardhu atau wajib. Hal ini dikarenakan wajib bagi setiap muslim ilmu yang berhubungan dengan pekerjaan yang hendak dikerjakan minimal dengan mengetahui yang wajib. Sesungguhnya sesuatu yang dipergunakan melakukan perbuatan wajib, maka ia pun wajib pula adanya.
Demikian pula mengetahui ilmu tentang puasa, tentang zakat jika berharta, tentang haji jika sudah wajib mengerjakan, dan juga tentang jual beli jika ia seorang pedagang.
Ditanyakan kepada Muhammad bin Hasan, rahimahumulloh: “Tidakkah Tuan sudi menulis kitab tentang zuhud?” Beliau menjawab: “Aku telah menulis sebuah kitab yang menjelaskan soal jual beli. Termasuk golongan orang zuhud/zahid orang yang dapat menjaga perkara-perkara syubhat dan makruh di dalam berdagang.
Demikian pula, wajib mengetahui ilmu bermasyarakat (muamalat) dan ilmu pekerjaan/mencari nafkah setiap orang yang melakukan pergaulan atau memiliki pekerjaan, apapun bentuknya, wajib mengetahui ilmu yang dapat memeliharanya dari mengerjakan hal-hal yang diharamkan atau dilarang agama.
Wajib bagi setiap muslim, ilmu tentang tingkah laku hati seperti tawakkal (menyerahkan semua masalah kepada Alloh), inaa-bah (kembali kepada Alloh), khasy-yah (takut kepada Alloh), dan ridla (menerima hukum dan ketentuan Alloh). Sungguh ilmu itu berlaku untuk semua perbuatan.
Mulianya ilmu itu adalah ia tidak ada keraguan terhadap siapapun, karena ilmu itu dikhususkan untuk manusia. Sedangkan semua perkara selain ilmu dapat dimiliki manusia dan semua hewan. Dengan ilmu pula, Alloh menunjukkan keutamaan Nabi Adam, as atas semua malaikat dan memerintahkan mereka sujud kepadanya.
Mulianya ilmu juga disebabkan keberadaannya/eksistensinya menjadi jalan menunju takwa. Dengan takwa pula menusia menjadi mulia di sisi Alloh, swt dan mencapai kebahagiaan abadi. Muhammad bin Al-Hasan bin ‘Abdullah berkata di dalam sebuah syair:
“Carilah ilmu, sesungguhnya ilmu itu hiasan bagi pemiliknya juga keutamaan, dan tanda/ciri khas bagi setiap perbuatan terpuji.”
“Jadilah engkau orang yang selalu bermanfaat, setiap hari selalu bertambah ilmunya, berenanglah di samudera manfaat yang luas.”
“Belajarlah ilmu fikih, sungguh ilmu fikih itu seutama-utamanya penuntun menuju kebaikan dan takwa juga seadil-adilnya yang dicari.”
“Dia adalah ilmu yang menuntun ke jalan petunjuk, benteng yang menyelamatkan dari semua serangan yang membahayakan.”
“Sungguh satu orang fakih yang wirai lebih berat bagi setan dari seribu ahli ibadah (tak berilmu).”
Demikian pula setiap muslim wajib mengetahui semua budi pekerti/akhlak yang baik maupun yang tercela, seperti dermawan, kikir, penakut, berani, sombong, rendah hati (tawaduk), menjaga kesucian diri dari yang haram, boros, hemat, dll. Adapun sombong, kikir, penakut, boros adalah dilarang, dan tidak akan dapat mencegah empat akhlak tersebut kecuali dengan mengetahui ilmunya. Demikian pula setiap manusia wajib mengetahui lawan empat akhlak tersebut.
Berkaitan dengan permasalahan di atas, telah menulis sebuah kitab, As-Saiyid Al-Imam Al-Ajal Asy-Syahid Nashruddin Abul Qasim tentang akhlak, yang juga dinamakan kitab akhlak, dan itu merupakan sebaik-baiknya kitab yang beliau tulis.
Oleh karena itu setiap muslim wajib menjaga perkara akhlak ini.
Adapun berkaitan dengan kejadian yang terjadi sewaktu-waktu (isidentil) hukumnya wajib/fardlu kifayah, yaitu apabila telah menjalankan sebagian orang maka gugurlah kewajiban orang lainnya. Apabila tidak ada seorang pun yang mengerjakannya, semua orang berdosa. Maka wajib bagi seorang pemimpin memerintahkan rakyatnya mengerjakan perkara yang fardlu kifayah ini, jika perlu dengan paksaan. Hal ini sebagaimana ucapan:
“Sesungguhnya ilmu untuk segala perkara yang terjadi pada seorang muslim di dalam semua perbuatan seperti makanan, tidak boleh tidak setiap orang harus makan. Dan ilmu tentang kejadian yang terjadi kadangkala (isidentil) bagaikan obat, setiap orang membutuhkannya di waktu-waktu tertentu.”
Adapun ilmu nujum/perbintangan (astrologi) yang membicarakan perihal sakit, maka mempelajarinya hukumnya haram. Ilmu ini lebih banyak madlaratnya/bahayanya, tidak bermanfaat, dan mengingkari hukum dan ketentuan Alloh swt, dan ini tidak mungkin.
Setiap muslim wajib menggunakan waktu yang dimilikinya untuk berzikir/mengingat Alloh, swt, berdoa, mendekatkan diri pada-Nya, membaca Al-Quran, bersedekah sebagai alat penolak balak. Mohon ampunan-Nya, kesehatan di dunia dan akhirat. Mohon dijauhkan dari mara bahaya. Siapa saja yang mau berdoa, maka Alloh, swt pasti mengabulkannya. Adapun marabahaya, sudah merupakan ketentuan Alloh swt yang pasti terjadi, namun Alloh, swt memberi keringanan dalam menghadapinya, juga memberinya rezeki berupa kesabaran. Semua itu karena berkah doa. Kita mohon kepada Alloh, swt dijauhkan dari ilmu perbintangan ini.
Diperbolehkan mempelajari ilmu perbintangan sekedar untuk mengetahui arah kiblat dan waktu-waktu sholat, bahkan hal ini amat dianjurkan.
Adapun memperlajari ilmu kedokteran, setiap muslim diperbolehkan. Hal ini disebabkan, ilmu kedokteran merupakan sarana untuk mengetahui keadaan badan, apakah dalam kondisi sehat atau sakit. Maka diperbolehkan pula mempelajari ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kedokteran, seperti obat-obatan, cara-cara mengobati penyakit. Ini dikarenakan Nabi Muhammad, saw juga berobat ketika jatuh sakit.
Imam Syafii, rahimahulloh berkata:
“Ilmu itu ada dua yaitu ilmu fikih untuk mengetahui permasalahan agama dan ilmu kedokteran untuk mengetahui kondisi badan. Sedangkan ilmu yang lainnya seperti hidangan pelengkap dalam pertemuan.”
Adapun yang dimaksud dengan hakekat ilmu adalah suatu keadaan yang dapat menjelaskan dengan terang benderang kepada orang yang memerlukannya. Sehingga ia dapat memahami dan mengerti dengan permasalahan yang sedang ia hadapi tanpa keraguan.
Sedangkan ilmu fikih adalah mengetahui perkara yang halus dan rumit. Imam Abu Hanifah, rahimahulloh berkata:
“Ilmu fikih itu adalah ilmu pengetahuan jiwa, apa yang dibutuhkan jiwa dan apa yang tidak dibutuhkannya.”
Beliau juga berkata:
“Ilmu itu tidak ada gunanya kecuali mengamalkannya dan mengamallkan ilmu itu adalah meninggalkan perkara dunia karena akhirat.”
Sewajarnya pula manusia itu tidak melupakan dirinya, memperhatikan segala yang bermanfaat buat dirinya, maupun yang dapat mencelakakannya, baik yang berkaitan dengan urusan dunia dan akhiratnya. Agar akal dan ilmu yang dimiliki tidak menjadi saksi yang memberatkan dirinya sehingga mendapat siksa yang berat.
Kita berlindung kepada Alloh, swt dari murka dan siksa-Nya. Sungguh telah banyak dalil yang menerangkan ilmu dan keutamaannya, baik barupa ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Shahih yang sudah dikenal. Namun dalam kitab ini dalil-dalil tersebut tidak penulis cantumkan agar pembahasan kitab tidak menjadi panjang.
JURUS KEDUA
NIAT MENUNTUT ILMU
Para penuntut ilmu tidak boleh tidak, harus berniat ketika hendak menuntut ilmu, karena niat merupakan pokok atau dasar di dalam melakukan semua aktifitas. Nabi, saw bersabda:
“Semua amal itu tergantung niatnya.” Hadis shahih.
Nabi, saw bersabda:
“Berapa banyak amal yang kelihatannya sebagai amal dunia, karena niat yang baik menjadi amal akhirat (berpahala). Berapa banyak pula amal yang kelihatannya sebagai amal akhirat, karena niat yang jelek menjadi amal dunia (tidak berpahala).”
Setiap penuntut ilmu harus berniat menuntut ilmu hanya mengharap ridla Alloh, swt, demi keselamatan di akhirat, menghilangkan kebodohan dari dirinya juga dari kebodohan orang lain, menghidupkan agama dan mengagungkan agama Islam. Sedangkan untuk mengagungkan agama Islam haruslah dengan ilmu, demikian pula tidak sah zuhud dan takwa disebabkan kebodohan.
Syaikh Burhanuddin, penyusun kitab Al-Hidayah, di hadapan ulama membacakan syair berikut:
“Kerusakan besar, seorang alim yang melanggar agama, namun yang lebih besar darinya adalah orang bodoh yang beribadah tanpa ilmu.”
“Keduanya merupakan fitnah yang besar di alam ini, juga fitnah yang besar bagi siapa saja yang mengikuti keduanya dalam menjalankan agamanya.”
Setiap penuntut ilmu di dalam berniat menuntut ilmu haruslah menanamkan rasa syukur atas nikmat akal dan sehat badan. Hendaklah ia tidak berniat karena manusia, tidak mencari kekayaan, dan juga tidak mencari pujian di hadapan pemimpin dan manusia lainnya.
Muhammad bin Hasan, rahimahulloh berkata:
“Sekiranya semua manusia menjadi budakku, pasti kumerdekaan semuanya dan membebaskannnya dari semua tanggungan. Barangsiapa yang telah merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya, ia tidak lagi membutuhkan apa yang dimiliki manusia.”
Syaikh Quwwamuddin Hammad bin Ibrahim bin Ismail Ash-Shaffar Al-Anshari telah membacakanku sebuah syair yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah sebagai berikut:
“Siapa yang mencari ilmu karena mencari akhirat, ia telah memperoleh keutamaan dari Alloh, swt, Yang Maha Memberi Petunjuk.”
“Maka lihatlah kerugian penuntut ilmu karena mencari kehormatan dari manusia.”
Kita mohon kepada Alloh, swt agar dijauhkan dari kerugian penuntut ilmu. Namun demikian tidaklah dilarang apabila dalam menuntut ilmu dekat dengan para pemimpin atau mencari dukungan manusia untuk melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar (menyuruh kebaikan dan mencegah kemaksiatan), memperjuangkan yang hak, dan demi kejayaan agama Islam. Bukan karena hendak memperjuangan kepentingan pribadi atau memperturutkan hawa nafsunya. Sekali lagi strategi beramal seperti itu diperbolehkan sekedar untuk amar ma’ruf dan nahi munkar.
Semestinya pula setiap penuntut ilmu menyadari bahwa di dalam mencari ilmu itu ia benar-banar dengan bersusah payah dan penuh perjuangan. Maka janganlah ia setelah memperoleh ilmu berpaling kepada tipuan dunia yang tidak seberapa nilainya, hina, dan tidak abadi. Gambaran ini sesuai syair berikut:
“Kehidupan dunia itu paling sedikit dari yang sedikit nilainya, orang yang mencintai dunia adalah orang yang paling hina dari yang hina.”
“Dengan tipuan sihirnya ditulikan dan dibutakan manusia, maka mereka pun menjadi bingung tanpa pegangan.”
Bagi seorang yang berilmu (ahli ilmu) sudah semestinya tidak menghinakan dirinya dengan sifat tamak dunia, sebaliknya menjauhi watak ini. Orang berilmu juga harus memelihara diri dari semua hal yang dapat menghina atau melecehkan ilmu dan ahli ilmu. Ia pun harus memiliki sifat rendah hati/andap asor (tawaduk). Sifat rendah hati ini adalah sifat antara sombong dan hina diri. Adapun makna yang sepadan dengan rendah hati adalah kehormatan atau kesucian diri. Semua keterangan ini berasal dari kitab akhlak.
Syaikh Ruknul Islam, beliau merupakan seorang ahli pendidikan budi pekerti atau tatakrama (adab), membacakan sebuah syair:
“Sungguh tawaduk itu merupakan sebagian sifat-sifat takwa, dengan tawaduk orang takwa mencapai kedudukan mulia.”
“Dan dari semua keajaiban adalah keajaiban orang tidak tahu, apakah dirinya termasuk orang yang bahagia ataukah celaka.”
“Atau bagaimana akhir dari umur dan nyawanya pada hari kematian, menjadi orang yang dihinakan atau diangkat derajatnya.”
“Adapun kesombongan itu adalah sifat milik Tuhan kita, jauhilah sifat sombong dan bertakwalah.”
Imam Abu Hanifah, rahimahulloh di hadapan para sahabatnya berkata:
“Perbesarlah surban kalian dan lebarkanlah lengan baju kalian.”
Beliau berkata seperti ini untuk menjaga agar ilmu dan ahli ilmu tidak dipandang hina atau diremehkan.
Seorang penuntut ilmu, agar berhasil dalam menuntut ilmu, hendaklah mempelajari kitab wasiat karangan Imam Abu Hanifah, yang beliau tulis untuk Yusuf bin Khalid As-Simti, ketika hendak pulang ke negerinya. Hendaklah para penuntut ilmu mempelajarinya agar berhasil ilmunya.
Guru penulis, Syaikh Al-Imam Burhanul Aimmah Ali bin Abi Bakr, rahimahulloh, semoga Alloh mensucikan ruhnya dengan kemulian, memerintahkan penulis untuk menulis kitab wasiat tulisan Imam Abu Hanifah tersebut ketika penulis hendak kembali ke daerah asal penulis. Penulis pun melaksanakannya. Oleh karena itu sudah semestinya bagi para guru dan mufti yang member fatwa perkara pergaulan hidup memiliki kitab wasiat ini.
JURUS KETIGA
MEMILIH ILMU, GURU, TEMAN DAN MENJAGANYA
Para penuntut ilmu hendaklah memilih setiap ilmu yang dapat menambah kebaikan dirinya, juga yang sesuai dengan kebutuhan dirinya di dalam menjalankan ajaran atau perintah agama. Ia juga memerlukan ilmu yang bermanfaat untuk menghadapi akhir hidup.
Seorang penuntut ilmu hendaklah mendahulukan untuk mempelajari ilmu tauhid dan pengetahuan tentang Alloh dengan dalil-dalil yang kuat atau jelas. Sesungguhnya keimanan seorang muqallid (yang hanya ikut-ikutan) menurut pendapatku, meskipun sah, namun ia tetap masih berdosa karena tidak mau berusaha mencari dalil-dalilnya.
Seorang penuntut ilmu hendaklah memilih ilmu yang sudah lama keberadaannya atau eksistensinya (‘atiq) bukan yang baru adanya atau diada-adakan (muhdatsah). Ulama berkata:
“Hendaklah kalian semua tetap mencari ilmu yang sudah eksis, peliharalah diri kalian dari ilmu-ilmu yang baru.”
Penyusun kita ini berkata: “Hendaklah engkau menjauhi ilmu debat (jadal), di mana ilmu ini muncul setelah meninggalnya para alim/ulama yang agung, luas ilmunya, dan mulia akhlaknya. Ilmu debat dapat menjauhkan para penuntut ilmu dari mempelajari ilmu fikih, menyia-nyiakan umur, membuat hati tidak tentram dan mempunyai banyak musuh. Perlu diketahui pula, munculnya ilmu debat ini juga merupakan sebagian tanda-tanda datangnya hari kiamat, hilangnya ilmu, khususnya ilmu fikih. Demikan penjelasan yang terdapat di dalam hasis.”
Sedangkan di dalam memilih guru, seorang penuntut ilmu hendaklah memilih yang paling berilmu, lebih wara’ (wira’i), dan yang lebih tua umurnya. Demikianlah yang dilakukan Imam Abu Hanifah, setelah beliau merenung dan berfikir, memilih Hammad bin Abu Sulaiman menjadi gurunya.
Imam Abu Hanifah berkata: “Beliau adalah guru yang lanjut umurnya, rajin bekerja, tekun beribadah, berperilaku santun, murah hati, dan senantiasa dalam kesabaran.”
Beliau berkata pula: “Aku tetap istiqomah berguru kepada beliau, tidak berpindah-pindah guru, sehingga aku mencapai derajat mujtahid.”
Beliau berkata pula: “Aku telah bertemu dan mendengar dari seorang alim sekaligus seorang hakim dari negeri Samarqandi. Beliau bercerita, “ seorang penuntut ilmu meminta pendapatku saat ia hendak menuntut ilmu di wilayah Bukhara.” Hendaklah seseorang mencontoh yang demikian, yaitu bermusyawarah dalam semua urusan. Alloh swt memerintahkan Nabi Muhammad saw melakukan musyawarah dalam banyak masalah. Dan tak ada seorang pun yang lebih pandai dari beliau. Oleh karena itu musyawarah itu diperintahkan. Demikian pula para sahabat senantiasa bermusyawarah dalam semua urusan, bahkan sampai urusan-urusan rumah tangga juga dimusyawarahkan. Imam Ali, karamalloh wajhah berkata:
“Seseorang tidak akan mendapatkan kerusakan atau keburukan selama ia mau bermusyawarah.”
Kata ulama, dalam bermusyawarah manusia itu ada 3 macam:
“Manusia sempurna, setengah manusia, dan bukan apa pun. Adapun manusia sempurna adalah manusia yang memiliki pemikiran yang baik dan mau bermusyawarah. Setengah manusia adalah manusia yang memiliki pemikiran yang baik tapi tidak mau bermusyawarah atau mau bermusyawarah tetapi tidak mau mengutarakan pendapatnya. Bukan apa pun adalah manusia tidak memiliki pemikiran dan tidak mau bermusyawarah.
Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata kepada Sufyan Ats-Tsuri:
“Bermusyawarahlah dalam urusanmu bersama orang-orang yang takut kepada Alloh Ta’ala.
Menuntut ilmu itu termasuk dari kedudukan yang mulia dari semua perkara, dan termasuk perkara yang paling sulit, maka bermusyawarah dalam menuntut ilmu itu lebih utama dan lebih wajib.
Al-Hakim Samarqandi berkata kepada orang yang meminta pendapatnya:
“Apabila engkau telah sampai ke Bukhara, janganlah tergesa-gesa di dalam bergonta-ganti guru. Hendaklah engkau berdiam selama kurang lebih dua bulan. Engkau memiliki waktu untuk merenung dan berfikir sungguh-sunguh siapakah guru yang hendak engkau pilih. Apabila engkau telah memilih seorang guru dan menuntut ilmu kepadanya, bisa jadi engkau tidak menyukai pengajarannya, dan engkau pun berkeinginan meninggalkannya untuk berguru kepada yang lainnya. Maka engkau tidak akan mendapatkan keberkahan dalam menuntun ilmu. Oleh karena itu lebih baik engkau meluangkan waktu kurang lebih dua bulan untuk berfikir dan merenung terlebih dahulu dalam usaha memilih guru dan bermusyawarah dengan orang yang sesuai. Dengan demikian engkau tidak berkeinginan meninggalkan dan berpaling darinya.
Apabila engkau telah mantap memilih guru yang sesuai dengan harapan, hendaklah engkau tetap istiqamah, teguh pendirian/tahan uji berguru kepadanya. Maka engkau akan mendapatkan keberkahan di dalam menuntut ilmu dan dapat mengambil manfaat yang banyak dengan ilmu yang engkau peroleh.”
Wahai para penuntut ilmu, ketahuilah bahwa kesabaran dan teguh pendirian merupakan pondasi utama dari semua urusan, namun sedikit sekali orang yang melakukannya atau memikirkannya. Berkata syair:
“Setiap orang ingin mencapai derajat mulia, namun sedikit yang tahan uji/teguh pendirian.”
Dikatakan:
“Keberanian itu adalah kesabaran mengarungi waktu, yang tidak mengandalkan kekuatan badan.”
Seorang penuntut ilmu haruslah tahan uji dan sabar menuntut ilmu kepada seorang guru dan di dalam mempelajari sebuah kitab. Ia tidak berganti guru atau kitab lainnya, yang menyebabkan ilmu yang dipelajari kurang sempurna. Juga di dalam mempelajari satu topik atau bahasan pelajaran tidak berpindah ke topik lainnya sebelum menguasai topik sebelumnya. Demikian pula dalam hal tempat belajar/pondokan/sekolah tidak pindah ke tempat lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa atau darurat. Bukan karena ingin berganti suasana baru. Berpindah-pindah temapat dan lain sebagainya dapat mengakibatkan membengkaknya biaya, menyia-nyiakan waktu, menyibukkan hati, dapat merusak niat, menyakiti perasaan guru, dan juga dapat menjatuhkan martabat guru. Oleh karena itu seorang penuntut ilmu haruslah tetap sabar dan tahan uji dalam menahan keinginan berpindah-pindah tempat dll.
Berkata syair:
“Sesungguhnya keingingan hawa nafsu itu hina dina, orang yang dikalahkan dan terdesak setiap hawa nafsu, ia telah dikalahkan kehinaan.”
Seorang penuntut ilmu haruslah sabar dalam menghadapi semua cobaan/ujian dan musibah. Hal ini seperti kata perumpamaan:
“Gudang harta benda kebaikan karena banyaknya limpahan cobaan.”
Telah dibacakan untukku sebuah syair yang diyakini dari sahabat Ali bin Abi Thalib, karamalloh wajhah:
“Ketahuilah engkau tidak akan mendapatkan manfaat ilmu kecuali dengan enam perkara. Akan aku terangkan padamu semuanya dengan ringkas dan terang:
“Yaitu pandai, rakus belajar, sabar, cukup dana, petunjuk guru, dan butuh waktu lama.”
Adapun memilih teman, seorang penuntut ilmu haruslah memilih teman yang giat dan rajin belajar, wirai, berprilaku baik, dan yang memahami ilmu. Hendaklah ia menjauhi teman yang pemalas, suka menganggur, banyak bicara, suka membuat onar, dan tukang fitnah.
Berkata syair:
“Untuk mengetahui perilaku seseorang, engkau tidak usah bertanya, cukuplah engkau perhatikan temannya. Maka sungguh seorang teman itu sebab hubungan pertemanan saling mempengaruhi.”
“Apabila teman itu berakhlak buruk segeralah menjauhinya, maka apabila berakhlak baik jadikanlah teman agar engkau mendapat petunjuk.”
Penulis juga mendengar syair berikut:
“Janganlah engkau berteman dengan pemalas dalam semua tingkah lakunya. Berapa banytak orang baik berteman dengan teman yang buruk menjadi buruk pula?”
“Pengaruh orang yang bodoh kepada orang yang pandai itu cepat sekali, seperti bara api yang diletakkan di dalam abu, bara api pun padam.”
Nabi Muhammad, saw bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah Islam. Orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi.”
Hikmah berteman ini juga ada yang disyairkan dalam bahasa Farisi:
“Sesungguhnya teman yang buruk itu lebih buruk dari ular yang paling buruk dan lebih berbahaya.”
“Sesungguhnya teman yang buruk memasukkannmu ke dalam jurang neraka, carilah teman yang baik ia akan memasukkanmu ke dalam surge.”
Berkata syair:
“Jika engkau mencari ilmu dari ahli ilmu atau yang tidak diketahui dari yang menyaksikan,”
“Ambillah perumpamaan bumi dengan nama benda-benda yang ada di dalamnya. Ambillah perumpamaan teman itu dengan teman pula.”
Untuk informasi lebih lanjut lihat judul buku 13 Jurus Sukses Belajar Terjemah Kitab Ta'lim Muta'allim di kitabkuning.tokobagus.comkitabkuning.tokobagus.com
Untuk informasi lebih lanjut lihat judul buku 13 Jurus Sukses Belajar Terjemah Kitab Ta'lim Muta'allim di kitabkuning.tokobagus.comkitabkuning.tokobagus.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar